Kritik dan Esai puisi ''Malu Aku Jadi Orang Indonesia'' Karya Taufik Ismail

Nama :Anita Eka Syalina

Nim    : 175200075

Prodi  : Pendidikan Bahasa Indonesia 2017 A


Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia


I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia 


Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia 


Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia


Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini 


II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.


III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,


Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan, 


Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,


Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,


Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,


Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,


Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,


Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,


Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat, 


Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,


Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,


Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,


Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,


Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan, 


Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.


IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.


Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatra Barat.[1] Ayahnya adalah seorang ulama dan pendiri PERMI. Ia menghabiskan masa SD di Solo, Semarang, dan Yogyakarta, SMP di Bukittinggi, dan SMA di Pekalongan. Taufiq tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tetapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.

Makna dari puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia ialah dulu indonesia pernah di banggakan setiap negara setelah lewat beberapa tahun masyarakat indonesia mulai banyak melakukan kerusakan kerusakan dan politik yang amburadul. kejahatan yang  dilakukan oleh rakyat Indonesia terutama kejahatan yang terjadi pada pejabat negara, penguasa, seperti   pelanggaran   hukum,   norma-norma,   korupsi,   kecurangan   sehingga   menimbulkan kekacauan   di   tengah-tengah   masyarakat.   Peluang   terjadinya   kejahatan   berhubungan   erat dengan   bentuk-bentuk   organisasi   sosial   seperti   gerakan   sosial,   persaingan,   pertentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi, dan lain-lain.Penangnanan masalah kejahatan perlu dilaksanakan untuk ketentraman dan kenyamanan hidup  bermasyarakat.





Seperti kutipan di bawah ini:


II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.


Maksud dari kutipan di atas adalah akhlak mulai rubuh hukum tidak tegak malu aku jadi orang indonesia.


Kaitannya dengan politik masa kini ialah banyak pemimpin yang curang dan melakukan korupsi dan di saat pemilu semua pembela partai melakukan kecurangan demi kemenangan pemilu. Dan banyak kecurangan kecurangan yang di lakukan oleh masyarakat di negeri ini.


Dalam  realita  kehidupan  sosial  pelaksanaan  birokrasi  menjdi  tidak  efektif  dan  efisien karena  orang  yang  menjalankanya  tidak  disiplin  dan  tidak  taat  asas.  Jadi,  yang  menyebabkan kritik  sosial  dalam  masalah  birokrasi,  adalah  disiplin  kerja para  aparatur  pemerintahan  dan ketaatanya   dalam   menjalankan   tugas   tersebut.   Akibat   ketidaktaatan   tersebut,   terjadilah penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat.

Ditijinjau dari masalah ketimpangan ekonomi dalam masyarakat dapat dibahas mengenai kemiskinan  yang menimpa  masyarakat  Indonesia  semenjak  masa  revolusi,  Orde  Lama,  Orde Baru, hingga Orde reformasi. Ketimpangan perekonomian masyarakat ditandai oleh kemiskinan penduduk  dan  sulitnya  lapangan  pekerjaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kritik dan esai video klip

Mengkritik cerpen ''Tahi Lalat'' Karya M. Shoim Anwar

Mengkritik Puisi "Sajak Palsu" Karya Agus R. Sarjono